Media sosial sekarang jadi panggung baru buat dakwah. Scroll YouTube, Instagram, atau TikTok, kita gampang nemuin potongan ceramah, kutipan ayat, sampai kajian singkat yang bisa ditonton kapan aja. Jadinya, dakwah terasa makin dekat dengan umat—apalagi generasi muda. Tapi di balik peluang ini, ada juga masalah besar: banjir hoaks dan info agama yang menyesatkan.
Kita sering lihat video agama yang viral. Ada yang bikin adem hati, kayak ceramah Ustadz Adi Hidayat soal pentingnya tabayyun. Ada juga konten segar ala kreator muda, misalnya Kadam Sidik, yang ngajak audiens mikir kritis tanpa terkesan menggurui. Fenomena ini nunjukin satu hal: dakwah di dunia digital udah mengikuti gaya media sekarang—visual, singkat, dan interaktif.
Masalahnya, ruang digital juga jadi lahan subur buat berita bohong. Info agama palsu gampang banget nyebar, kadang bawa-bawa nama ulama. Judulnya provokatif, narasinya emosional, bikin orang langsung percaya. Akhirnya? Lahirlah perpecahan, intoleransi, sampai kebencian di masyarakat.
Padahal Al-Qur’an udah kasih solusi jelas. Dalam QS. Al-Hujurat: 6, Allah nyuruh orang beriman buat tabayyun—cek dulu kebenaran berita sebelum disebarin. Sayangnya, yang sering terjadi justru kebalikannya: “share dulu, mikir belakangan.”
Di sinilah pentingnya komunikasi Islam. Dakwah digital nggak bisa sekadar copy-paste metode lama ke platform baru. Harus ada strategi yang sesuai sama ekosistem medsos. Setidaknya, ada tiga hal yang bisa jadi pegangan:
Pertama, dakwah harus edukatif. Tugas da’i bukan cuma nyampein ayat atau hadis, tapi juga ngajarin umat biar lebih kritis. Mulai dari cara verifikasi berita, bedain sumber terpercaya, sampai nggak gampang tersulut emosi. Jadi, dakwah bukan sekadar retorika, tapi bener-bener mencerahkan.
Kedua, gunakan bahasa santun dan inklusif. Medsos itu tempat yang gampang bikin gesekan. Kalau bahasanya keras, penuh label, apalagi suka menghakimi, hasilnya cuma makin ribut. Sebaliknya, kalau pake bahasa ramah, narasi menyejukkan, bahkan kadang diselipin humor Islami, pesan jadi lebih gampang diterima.
Ketiga, kolaborasi dengan influencer muslim. Kreator konten yang dekat dengan anak muda bisa jadi partner penting. Dengan gaya yang segar dan relate sama keseharian, pesan agama bisa nyampe tanpa terasa menggurui.
Tentu, semua ini butuh konsistensi. Dai dan lembaga dakwah perlu sadar kalau logika medsos itu beda: serba cepat, singkat, dan penuh distraksi. Karena itu, pesan dakwah harus dikemas menarik, tapi tetap berisi.
Ujung-ujungnya, dakwah digital bukan soal berapa banyak views atau seberapa viral konten kita. Yang lebih penting adalah menjaga marwah komunikasi Islam: jujur, amanah, dan penuh hikmah. Jangan sampai media sosial cuma jadi ruang kebingungan dan adu emosi.
Saatnya budaya tabayyun dihidupkan. Kalau umat Islam melek literasi digital dan bijak bermedsos, ruang digital bisa jadi ladang dakwah yang adem dan bermanfaat, bukan tempat perpecahan.
Penulis: Tomi Hendra
Dosen Komunikasi UIN Bukittinggi