DAERAHSAINTEK

Dramaturgi Postdramatic sebagai Metode Baru Seni Pertunjukan

×

Dramaturgi Postdramatic sebagai Metode Baru Seni Pertunjukan

Sebarkan artikel ini
IPC kembali menggelar penampilan dengan tema Dramaturgi Postdramatic.
IPC kembali menggelar penampilan dengan tema Dramaturgi Postdramatic.

Datateks.id – Indonesian Performance Camp (IPC) 2025 kembali digelar pada 9 sampai 11 November di Fabriek Padang dan Pustaka Steva, Sumbar.

IPC mengangkat tema Praktik Dramaturgi Postdramatic dalam pertujukkan kontemporer.

Di tahun ini, IPC mengusung orientasi yang lebih konseptual dengan memperkenalkan dramaturgi postdramatic sebagai pendekatan dalam praktik seni pertujunkkan Indonesia.

Konsep ini menempatkan tubuh sebagai arsip hidup, di mana memori personal, tradisi, dan pengalaman sosial bertemu dalam bentuk artistik yang tak lagi terikat pada struktur naratif konvensional.

Ini berbeda dengan pendekatan teater tradisional yang berpusat pada naskah.

Dramaturgi postdramatic memandang proses tubuh dan relasi antar-ruang sebagai sumber utama penciptaan.

Melalui enam sesi workshop, peserta bisa memahami bagaimana tubuh menyimpan pengalaman, berinteraksi dengan membentuk ruang, dan struktur pertunjukkan dari pengalaman langsung.

Pemandu workshop adalah Kai Tuchmann.  Dia adalah Dramaturg dan sutradara asal Jerman dengan pengalaman luas di Eropa serta Asia.

Baca Juga: Dilantik Presiden Prabowo, Jimly Asshiddiqie Pimpin Komisi Percepatan Reformasi Polri

Selain Kai Tuchaann, sutradara dan pendiri Kalanari Theatre Movement, Ibed Surgana Yuga, juga turu menjadi pemandu workshop.

Kai Tuchmann terkenal dengan praktik teater dokumenter yang menantang batas antara realtas dan representasi.

Sementara Ibed terkenal lewat riset teaternya yang berakar pada budaya lokal namun berorientasi global.

Pimpinan IPC Wendy HS mengatakan pihaknya akan berupaya menghadirkan ruang belajar yang mampu menumbuhkan cara kerja seni yang reflektif, terstruktur, dan bertanggung jawab pada konteks budaya masing-masing performer.

IPC 2025 tidak hanya menjadi ruang latihan tubuh, melainkan laboratorium pengetahuan di mana performer, akademisi, dan peneliti seni dapat berdialog.

Sejak 2019, IPC konsisten mempertemukan pendekatan tradisi tubuh Minangkabau seperti Tapuak Galembong dan Silek dengan metode kontemporer dunia.

Di tahun ini, kolaborasi antara Indonesia Performance Syndicate (IPS), Kalabuku, Komunitas Seni nan Tumpanh, Nusantara Art, Komunitas Seni Hitam Putih, Pustaka Steva, Traseni, dan Fabriek Padang menjadi bukti bahwak praktik seni tumbuh dari kerja pengetahuan kolektif.

“Lewat dramaturgi postdramatic, kami tidak sedang mencari bentuk baru, akan tetapi cara berpikir tentang tubuh  dan pertunjukkan,” kata Wendy.

IPC merupakan platform eksperimental yang fokus pada riset tubuh dan dramaturgi lintas disiplin.

Berawal dari kolaborasi IPS dan Shinonome Butoh Tokyo pada 2019, IPC berkembang menjadi laboratorium terbuka.

IPC akan terus memperkuat kapasitas teknis, membuka ruang riset tubuh, serta mendorong lahirnya bahasa pertunjukkan baru yang berakar pada lokalitas dan terbuka terhadap percakapan global.

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *