OPINI

Baju Dinas dan Harapan Rakyat yang Kembali Tebal

×

Baju Dinas dan Harapan Rakyat yang Kembali Tebal

Sebarkan artikel ini
Advokat dan Wakil Rektor III UISB Miko Kamal
Advokat dan Wakil Rektor III UISB Miko Kamal

Gubernur KDM (Kang Dedi Mulyadi) kembali mencuri perhatian publik dengan keputusannya menolak anggaran pembelian baju dinas senilai Rp152 juta per tahun.

“Saya beli baju setiap minggu bisa, ngapain dibelikan oleh negara?” ujar KDM.

Sikap ini bukan sekadar pernyataan populis, melainkan contoh nyata kepemimpinan yang berorientasi pada efisiensi dan keberpihakan kepada rakyat.

Seorang gubernur yang terpilih umumnya sudah mapan secara ekonomi.

Kalaupun tidak kaya raya, mereka bukanlah golongan miskin.

Maka, menerima fasilitas negara untuk kebutuhan pribadi seperti baju dinas seharusnya menjadi hal yang dipertimbangkan ulang.

Baca Juga: Ramadan: Mengamputasi Egosentrisme

KDM memahami ini dan memberi contoh langsung bahwa pejabat tak harus bergantung pada anggaran negara untuk kebutuhan yang bisa mereka tanggung sendiri.

Keputusan KDM seharusnya menjadi cermin bagi pejabat lain, mulai dari wakil gubernur, sekda, kepala dinas, hingga staf pemerintahan.

Keteladanan seperti ini diharapkan menular ke jajaran di bawahnya.

Filosofi “memandikan kuda” yang diterapkan KDM menekankan bahwa jika ingin anak buah mengikuti aturan, pemimpin harus menjadi contoh terlebih dahulu.

Dampak Positif Bagi Rakyat dan Demokrasi

Sebagian orang mungkin menganggap keputusan ini hanya sekadar gimik politik.

Namun, politik memang membutuhkan simbol-simbol yang mampu memberikan motivasi.

Keputusan KDM bukanlah hal sepele, tetapi langkah kecil yang bisa menghidupkan kembali harapan rakyat terhadap pemimpin mereka.

Harapan rakyat terhadap pemimpin formal semakin menipis.

Banyak yang merasa bahwa ada atau tidaknya pemimpin, kehidupan mereka tetap berjalan seperti biasa.

Para petani tetap ke sawah, pedagang tetap berjualan, sementara korupsi tetap merajalela.

Menurunnya tingkat partisipasi pemilih dari pilkada ke pilkada menjadi indikasi nyata dari fenomena ini.

Pada Pilkada 2020, partisipasi pemilih nasional mencapai 76,09% (Kompas.com, 3/1/2021).

Namun, angka ini turun menjadi 68% di Pilkada 2024 (CNN Indonesia Online, 4/12/2024).

Di Sumatera Barat, partisipasi bahkan lebih rendah, hanya sekitar 57,15% (Info Publik, 9/12/2024), dan di Kota Padang hanya 49,1% (Padang Ekspres Online, 6/12/2024).

Menipisnya harapan rakyat terhadap pemimpin adalah ancaman serius, tidak hanya bagi demokrasi, tetapi juga bagi keberlangsungan bangsa.

Rakyat yang kehilangan harapan cenderung apatis terhadap pembangunan, enggan mematuhi hukum, dan bahkan bisa kehilangan rasa memiliki terhadap negaranya.

Mencontoh dari KDM

Sebelum terlambat, sudah saatnya para kepala daerah, baik gubernur, bupati, wali kota, maupun kepala desa dan wali nagari, mengikuti jejak KDM dalam membangun kembali kepercayaan rakyat.

Langkah-langkah kecil, seperti menolak fasilitas negara yang tidak esensial, bisa menjadi simbol nyata bahwa pemimpin masih peduli terhadap rakyat.

Dengan menumbuhkan kembali harapan rakyat, bukan hanya demokrasi yang terselamatkan, tetapi juga kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih sehat dan berkeadilan.

Jika lebih banyak pemimpin yang berani bersikap seperti KDM, bukan tidak mungkin rakyat akan kembali percaya dan optimis terhadap masa depan bangsa ini.

Penulis: Miko Kamal

Advokat dan Wakil Rektor III UISB

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *