OPINI

Dakwah dalam Tradisi Maulid: Ruang Negosiasi, Bukan Pertikaian

×

Dakwah dalam Tradisi Maulid: Ruang Negosiasi, Bukan Pertikaian

Sebarkan artikel ini
Dosen UIN Bukittinggi Tomi Hendra
Dosen UIN Bukittinggi Tomi Hendra

Datateks.id – Kehadiran bulan Bulan Rabiul Awal memberikan suasana lebih semarak di berbagai daerah di Indonesia. Mulai dari Aceh sampai Papua, masyarakat Muslim punya cara tersendiri untuk merayakan Maulid Nabi. Ada yang bikin kenduri besar, ada yang menggelar pesta rakyat Sekaten di Yogyakarta, ada juga yang cukup dengan membaca barzanji dan marhabanan di surau kampung.

Siapa sangka bagi banyak orang, Maulid Nabi bukan hanya sekadar ritual tahunan. Tapi tradisi tersebut merupakan momen untuk bisa berkumpul bareng, makan bersama, dan tentu saja mengenang sosok Nabi Muhammad saw yang penuh teladan. Anak-anak biasanya gembira karena suasananya meriah, orang dewasa merasa senang bisa memperkuat silaturahmi, sementara tokoh agama menjadikannya kesempatan untuk menyampaikan pesan moral dan nilai spiritual.

Dengan kata lain, Maulid Nabi merupakan kombinasi unik: ibadah, budaya, sekaligus ajang kebersamaan sosial.

Antara yang merayakan dan yang mengkritik

Namun, di balik semaraknya, ada juga suara yang berbeda. Sebagian kelompok Islam kultural, seperti Nahdlatul Ulama dan komunitas adat menganggap Maulid sebagai ekspresi cinta kepada Nabi. Menurut mereka, bershalawat, mendengar kisah hidup Rasul, dan bersyukur atas kelahirannya merupakan bentuk ibadah yang sangat baik.

Di sisi lain, kelompok Islam puritan seperti Muhammadiyah dan Salafi punya pandangan berbeda. Mereka beranggapan Maulid tidak ada contohnya di zaman Nabi, sehingga termasuk bid‘ah. Cinta kepada Rasul, menurut mereka, cukup diwujudkan dengan menjalankan sunnah dan menjauhi larangan, bukan dengan membuat tradisi baru.

Nah, perbedaan tafsir inilah yang membuat Maulid sering jadi bahan perdebatan. Ada yang menganggapnya sah-sah saja, bahkan perlu dirayakan besar-besaran. Ada pula yang menganggapnya sebaiknya ditinggalkan. Kadang perdebatan ini berlangsung sehat, tapi tidak jarang juga menimbulkan ketegangan sosial.

Dua cara pandang dakwah

Kalau ditarik lebih jauh, sebenarnya perbedaan ini memperlihatkan dua cara pandang dakwah. Pertama, dakwah berbasis tradisi atau cultural dakwah. Cara ini menekankan bagaimana nilai Islam bisa dipadukan dengan kearifan lokal agar mudah diterima masyarakat. Tradisi Maulid dianggap sebagai pintu masuk dakwah yang hangat dan membumi.

Kedua, dakwah puritan yang menekankan pada pemurnian ajaran. Fokusnya menjaga tauhid dari praktik yang dianggap menyimpang. Karena itu, setiap ritual baru—termasuk Maulid—sering dipandang kritis.

Pertemuan dua cara pandang ini membuat Maulid tidak lagi sekadar acara seremonial. Ia berubah menjadi arena dialektika antara teks dan konteks, antara skripturalisme dan kulturalisme.

Melihat dari kacamata komunikasi

Lalu, bagaimana sebaiknya kita menyikapi perbedaan ini? Dari perspektif komunikasi dakwah, Maulid bisa dilihat sebagai peluang, bukan masalah.

Bagi kelompok yang merayakan, Maulid bisa dimanfaatkan sebagai sarana edukasi: mengenalkan sejarah Nabi, menanamkan akhlak, dan memperkuat rasa kebersamaan. Bagi kelompok puritan, kritik mereka bisa menjadi pengingat agar perayaan tetap fokus pada nilai tauhid, tidak sekadar pesta seremonial.

Kalau dipikir-pikir, ini sebenarnya bisa jadi simbiosis yang saling melengkapi. Yang satu memberi ruang bagi tradisi untuk hidup, yang satu lagi mengingatkan agar tradisi tidak kebablasan.

Ruang negosiasi, bukan pertikaian

Masalahnya, sering kali perbedaan tafsir agama justru dijadikan alasan untuk saling menegasikan. Padahal, dalam konteks masyarakat majemuk seperti Indonesia, tradisi justru bisa menjadi perekat sosial yang lebih kuat daripada aturan formal.

Kalau kita mau lebih bijak, Maulid bisa dijadikan ruang negosiasi makna: tempat untuk belajar menghargai perbedaan, memahami sudut pandang orang lain, sekaligus menemukan titik temu.

Pada akhirnya, Maulid Nabi bukan hanya soal kapan dan bagaimana kelahiran Rasulullah diperingati. Lebih dari itu, ia adalah tentang bagaimana umat Islam mengekspresikan rasa cinta kepada Nabi dengan cara yang mereka yakini benar.

Apakah itu dengan shalawatan, kenduri, ceramah, atau malah dengan diskusi teologis, intinya sama: ingin meneladani akhlak mulia beliau.

Mungkin sudah saatnya kita melihat Maulid bukan sebagai ajang siapa yang paling benar, tetapi siapa yang paling mampu menghadirkan semangat Nabi Muhammad saw dalam kehidupan sehari-hari: penuh kasih, bijaksana, dan membawa rahmat bagi sesama.

Ditulis oleh, Tomi Hendra, M.Sos

Dosen Komunikasi UIN Bukittinggi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *