Datateks.id- Bulan Ramadan selalu membawa suasana yang penuh keberkahan.
Umat Islam memenuhi masjid-masjid untuk memperdalam ilmuu agama melalui kajian dan ceramah.
Di balik kesyahduan ini, muncul perbincangan yang menarik: berapa bayaran seorang ustadz untuk sekali ceramah?
Apakah pantas dakwah, yang seharusnya ikhlas, dihargai dengan nominal tertentu?
Antara Keikhlasan dan Kebutuhan Hidup
Dulu, para ulama dan ustadz mengabdikan diri sepenuhnya dalam menyebarkan ilmu agama dengan niat lillahi ta’ala.
Mereka yakin bahwa Allah akan mencukupi kebutuhan mereka.
Keikhlasan ini menyentuh hati masyarakat, sehingga secara sukarela mereka memberikan penghormatan berupa bantuan atau santunan kepada para ulama.
Namun, seiring perkembangan zaman, peran seorang ustadz semakin menuntut dedikasi tinggi mulai dari persiapan materi, perjalanan jauh, hingga waktu yang mereka curahkan.
Banyak dari mereka yang mengandalkan dakwah sebagai sumber penghasilan utama.
Baca Juga: Surau Ka’bah Inyiak Tuah Jadi Destinasi Wisata Religi Baru di Sumbar
Tak heran, jumlah bayaran pun beragam.
Ini tergantung pada tempat, reputasi, dan keahlian sang penceramah.
Faktor lain seperti jarak juga masuk dalam perhitungan, sehingga tak jarang honorarium mencakup uang bensin dan akomodasi.
Di sisi lain, ada juga penceramah yang memasang tarif tinggi untuk satu sesi ceramah.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan, apakah dakwah sudah bergeser menjadi industri komersial?
Perlukah Standarisasi Bayaran?
Di beberapa tempat, takmir masjid atau panitia kajian menetapkan honorarium bagi penceramah dengan nominal tertentu.
Ini bertujuan agar tidak ada kesenjangan atau ketidakjelasan dalam memberikan apresiasi kepada para ustadz.
Namun, ada pula ustadz yang menetapkan tarif pribadi dengan harga yang cukup tinggi, sehingga memicu perdebatan.
Sebagian pihak khawatir bahwa jika dakwah menjadi terlalu berorientasi pada materi, nilai-nilai keikhlasan bisa luntur.
Padahal, dakwah bukan sekadar profesi, tetapi juga panggilan jiwa untuk menyebarkan ilmu dan membimbing umat.
Di sisi lain, menghargai ilmu dan mereka yang menyebarkannya juga merupakan bagian dari ajaran Islam.
Ustadz yang berdakwah tentu membutuhkan nafkah untuk keluarga mereka, dan memberikan bayaran yang layak adalah bentuk penghormatan terhadap ilmu yang mereka sampaikan.
Sudut Pandang Syariah: Bolehkah Ustadz Dibayar?
Dalam Islam, membayar ustadz untuk mengisi ceramah bukanlah hal yang terlarang.
Bahkan, dalam sejarah Islam, para ulama juga menerima kompensasi dalam bentuk hadiah atau penghidupan dari baitul mal.
Imam Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Bari memperbolehkan mengambil bayaran dari mengajarkan Al-Qur’an atau ilmu agama selama tidak sebagai tujuan utama.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya sesuatu yang paling berhak kalian ambil upahnya adalah Kitabullah (Al-Qur’an).” (HR. Bukhari no. 5737)
Hadis ini menunjukkan bahwa mengambil upah dari pengajaran agama, termasuk berdakwah, diperbolehkan asalkan dalam batas wajar dan tidak menjadikannya sebagai ajang komersialisasi berlebihan.
Selain itu, Allah juga berfirman:
“Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang murah dan bertakwalah kepada-Ku.” (QS. Al-Baqarah: 41)
Ayat ini menjadi pengingat agar ilmu agama tidak dijadikan semata-mata sebagai alat mencari keuntungan duniawi, tetapi tetap didasarkan pada niat yang tulus dan ikhlas.
Menjaga Keseimbangan antara Dakwah dan Profesionalisme
Pembayaran untuk ustadz di bulan Ramadan seharusnya tidak dipandang sebagai sesuatu yang keliru, tetapi juga tidak boleh menjadi alasan untuk mengomersialkan dakwah secara berlebihan.
Solusi terbaik adalah adanya transparansi dalam pemberian honorarium agar tidak ada kesalahpahaman antara penceramah dan panitia.
Selain itu, ustadz juga perlu menjaga niat dan integritas mereka dalam menyebarkan ilmu.
Masyarakat pun harus memahami bahwa menghargai ilmu adalah bagian dari ajaran Islam.
Dengan menjaga keseimbangan antara keikhlasan dan profesionalisme, diharapkan dakwah tetap menjadi jalan yang penuh berkah dan membawa manfaat bagi umat, terutama di bulan suci Ramadan.