Satu hiburan yang menarik di sela-sela kesibukan adalah menonton video sengketa Pilkada Serentak 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK).
Selain diajak bertamasya ke daerah para kontestan bersengketa, juga celetukan ala Hakim MK Prof. Saldi, dkk yang mengundang tawa.
Sesekali komentar lugu para saksi, juga mengundang tawa, lalu emosi ikut naik kala para pengacara dan penyelenggara tampak tak berkutik menjawab pertanyaan hakim.
Sungguh, sebuah hiburan yang berkualitas jauh di atas rata-rata daripada berita-berita receh tentang para artis Indonesia di media televisi mainstream.
Pilkada Serentak 2024 di Indonesia raya ini berlangsung di 545 daerah, rinciannya 37 pemilihan gubernur, 415 pemilihan bupati, dan 93 pemilihan wali kota.
Agenda demokrasi ini menghabiskan anggaran sebesar Rp41 triliun dan bertujuan memperkuat demokrasi lokal.
Perhelatan akbar demokrasi harus berujung dengan 310 permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan (PHP) di Mahkamah Konstitusi (MK) karena permohonan pasangan calon yang mencari keadilan atas penyelenggaraannya.
Sidang untuk 40 permohonan berlanjut, selebihnya segera dilantik. Selamat.
Gema Kekecewaan
“Kita usulkan agar diperbaiki, begitu banyak mudharat dari pada maslahatnya,” keluh kandidat yang baru saja mengalami kekalahan di kontestasi itu.
Suaranya bak bersipongang di siang yang nyalang.
Sepi tanpa resonansi berarti. Sebab pesta baru saja usai, para pemenang sedang bergembira.
Siapa sudi menyudahi euphoria dan bayangan kekuasaan sebentar lagi ada di tangan hingga lima tahun ke depan.
Setelah pesta usai, para suksesor yang kalah bubar, yang menang berkerumun dan mendekat.
Mereka segera mencari muka dengan segala macam cerita heroik tentu saja.
Begitulah, demokrasi di tengah masyarakat yang masih lapar dalam segala hal, pesta usai segera redam dengan sendirinya. Tunggu lima tahun lagi, akan terjadi lagi.
Inilah demokrasi procedural, yang kian menjauhkan substansi dari demokrasi itu.
Substansinya, kekuasaan di tangan rakyat, untuk rakyat, oleh rakyat.
Akan tetapi mereka yang terpilih menjadi pejabat akan membajaknya.
Rakyat sudah memberikan kekuasaan pada mereka yang menang, sedangkan yang menang itu tak punya garansi kecuali tak lagi dipilih bila tersandung hukum dan dibenci rakyat.
Sebaliknya, kalau ia datang lagi ke gelanggang dengan banyak uang, bisa terpilih lagi, bisa menjadi penguasa periode berikutnya. Gen Z kata, orang kaya mah bebas.
Citra yang Dipoles
Sudah lelah tampaknya para pakar di berbagai medium dan panggung mengulas oligarki, politik uang, tetapi aktor politik ulung akan bersetia mencari wacana yang disukai rakyat.
Melalui berbagai riset tercanggih, mereka akan melahirkan strategi yang bisa mengelabui, memberi harapan, memoles segala bopeng pada kandidat, semua tampak sempurna saat kontestasi.
Sekali lagi, rakyat terpesona melihat singa seakan-akan tersenyum di baliho-baliho yang bertebaran beberapa bulan lalu.
Baca Juga: Ini 18 Pasangan Kepala Daerah Hasil Pilkada 2024 Sumbar yang akan Dilantik Besok
Tim pemenangan dapat memoles, membersihkan, bahkan mengada-adakan jejak rekam leadership.
Sekalipun bermasalah, betapa malunya kontestan ketika tampil di debat publik.
Akan tetapi bisa saja menang karena rakyat sudah senang, tak penting pandai atau tidak memimpin.
Pada pokoknya, tim pemenangan membajak ilmu strategi pemasaran dan mengubahnya menjadi strategi aktor politik, sehingga rakyat jatuh pilihan secara emosional.
Kontestan adalah barang jualan.
Produk mereka sudah masif di pasaran sehingga rakyat percaya dan memilihnya.
Pendidikan politik tentu di lembaga pendidikan, bukan di arena politik..
Arena politik berkembang bebas sekehendak pasar.
Negara, tentu sudah punya agenda politik tentu saja.
Begitu juga dengan pemerintah, mereka juga bagian dari pesta demokrasi.
Lalu rakyat, bercerai-berai mengikuti arus yang kian kemari terbawa oleh informasi sepenggal dari media sosial.
Pengajaran Akal Sehat
Dampaknya, bisa tidak tegur sapa antar sanak saudara, tidak akan ada undangan saat hajatan penting seperti hari sebelum Pilkada
Jalinan sosial terputus karena pilihan, karena uang serratus dua ratus, karena pemimpin yang entah memikirkan hajat hidupnya atau tidak ketika sudah duduk di singgasana kekuasaan selama lima tahun ke depan.
Rakyat selain jadi penonton juga mengalami ketegangan yang sangat membahayakan keutuhan dan kerukunan. Kemana mencari titik pijak yang damai dalam kondisi serupa ini?
Nonton sajalah video pendek di media sosial tentang sidang pilkada di MK, kita seperti bertemu dengan pengajaran akal sehat dari dua, tiga, seteru yang mencari keadilan dan kedamaian.
Hakim MK Yang Mulia memberikan pituah bijak nan damai kepada mereka, serta menjelaskan sengketa secara rinci dari awal hingga akhir demi mewujudkan keadilan.
Terakhir, sidang itu pula akhirnya tempat belajar berpikir jernih dari ruang digital yang lusuh dan manipulatif.
Akademisi Kajian Da’wah, Media dan PolitikĀ
Abdullah Khusairi
Respon (1)