Datateks.id- Pertemuan antara Presiden Prabowo Subianto dan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri pada Senin (7/4) malam WIB menjadi sorotan publik.
Keduanya bertemu di kediaman Megawati, Kawasan Teuku Umar, Menteng, Jakarta.
Banyak yang beranggapan pertemuan ini bukan sekadar silaturhmi Idulfitri, tak seperti yang disebut Ketua Harian Gerindra Sufmi Dasco Ahmad.
Dugaan berseliweran, bahkan ada yang menyebut sebagai sinyalemen kuat perubahan lanskap kekuasaan pascaPemilu 2024.
Momen itu diabadikan dalam sebuah foto yang dibagikan Dasco melalui akun Twitter-nya.
Prabowo, dengan setelan kemeja safari dan celana panjang hitam, duduk bersebelahan dengan Megawati yang mengenakan busana ungu bermotif bunga.
Keterangan foto berbunyi, “7-4-2025, Alhamdulillah… Merajut kebersamaan Untuk Indonesia Kita,” lengkap dengan emotikon bendera merah putih.
Kalimat itu, sederhana tapi sarat makna: benarkah kini Teuku Umar dan Kertanegara telah satu frekuensi?
Rekonsiliasi PascaKemenangan Satu Putaran
Pertemuan ini terjadi dalam konteks penting: untuk pertama kalinya dalam satu dekade, Prabowo dan Megawati duduk bersama usai menjadi poros politik yang saling berhadapan sejak Pilpres 2014.
Saat itu, Prabowo maju sebagai penantang tokoh usungan PDIP, Jokowi.
Dalam dua kontestasi selanjutnya, rivalitas semakin menajam.
Namun, realitas politik berubah cepat.
Kemenangan Prabowo-Gibran dalam satu putaran Pilpres 2024 menjadi titik balik.
Berdasarkan Keputusan KPU Nomor 360 Tahun 2024, pasangan nomor urut 2 itu meraih 96.214.691 suara.
Mereka unggul jauh dari Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (40.971.906 suara) dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD (27.040.878 suara).
Rekapitulasi mencakup 38 provinsi dan 128 wilayah luar negeri.
PDIP, yang mengusung Ganjar-Mahfud, menjadi satu-satunya partai besar yang berada di luar pemerintahan Prabowo.
Namun perolehan legislatif mereka tetap dominan.
Dalam Pileg 2024, PDIP meraih 110 kursi di DPR, Golkar (102 kursi), dan Gerindra (86 kursi).
Meski gagal di Pilpres, PDIP tetap menguasai parlemen dan memiliki posisi tawar strategis.
Isyarat perubahan sikap PDIP tampak sejak Hasto Kristiyanto, Sekjen PDIP, menyatakan partainya siap mencermati desain kecurangan pemilu dan membentuk tim investigasi hukum bersama TPN Ganjar-Mahfud.
Namun seiring waktu, suara itu meredup.
Akhirnya, banyak yang menafsirkan pertemuan Prabowo-Megawati sebagai pembuka jalur rekonsiliasi.
Konfigurasi Kekuatan Parlemen
Tak hanya elite PDIP dan Gerindra, konfigurasi politik juga terpengaruh oleh hasil Pileg 2024 yang diwarnai pergeseran signifikan.
Delapan partai lolos ke Senayan, dan PDIP tetap teratas dengan 25.387.279 suara (16,72%).
Distribusi suara dan kursi DPR RI 2024–2029:
- PDIP: 25.387.279 suara | 110 kursi
- Golkar: 23.208.654 suara | 102 kursi
- Gerindra: 20.071.708 suara | 86 kursi
- PKB: 16.115.655 suara | 68 kursi
- NasDem: 14.660.516 suara | 69 kursi
- PKS: 12.781.353 suara | 53 kursi
- Demokrat: 11.283.160 suara | 44 kursi
- PAN: 10.984.003 suara | 48 kursi
Sementara itu, PPP, PSI, Perindo, dan 7 partai lainnya gagal lolos ke DPR karena tak melewati ambang batas 4 persen.
Mega-Pro 2009: Duet yang Gagal dan Luka Lama
Langkah Megawati menemui Prabowo bukan hanya tentang menyambung silaturahmi, tetapi membuka opsi baru dalam tata ulang kekuasaan nasional.
Apakah ini akan bermuara pada koalisi besar di bawah kepemimpinan Prabowo?
Atau sekadar momen politik simbolik?
Jawabannya tergantung langkah lanjutan dari elite partai, termasuk apakah PDIP akan tetap menjadi oposisi atau bergabung dalam pemerintahan.
Perkembangan Transportasi Udara, Laut dan Kereta Api di Sumbar: Semua Kompak Turun di Februari 2025
Namun, pertemuan dua poros ini tak bisa lepas dari sejarah mereka di Pilpres 2009.
Saat itu, Megawati dan Prabowo pernah berduet dalam satu perahu politik dengan nama Mega-Pro, menghadapi pasangan SBY-Boediono serta JK-Wiranto.
Namun mereka kalah telak. Mega-Pro hanya meraih 32.548.105 suara (26,79%), tertinggal jauh dari SBY-Boediono yang memperoleh 73.874.562 suara (60,80%). Pilpres pun hanya berlangsung satu putaran.
Setelah kekalahan itu, hubungan Mega dan Prabowo sempat memburuk.
PDIP menuding Prabowo enggan menggelontorkan logistik meski tercatat memiliki kekayaan hampir Rp2 triliun saat itu.
Ketegangan ini memuncak saat Megawati dianggap mengingkari Perjanjian Batu Tulis.
Isi Perjanjian Batu Tulis: Titik Balik Hubungan
Ada sembilan poin dalam perjanjian Batu Tulis pada 16 Mei 2009.
Salah satunya menyebutkan bahwa Megawati akan mendukung pencalonan Prabowo sebagai capres pada Pilpres 2014.
Sebagai imbalannya, Prabowo mendapat keleluasaan menyusun kebijakan ekonomi dan menunjuk 10 orang menteri jika menang.
Namun, pada kenyataannya, PDIP justru mengusung Joko Widodo sebagai capres pada 2014.
Langkah ini dipersepsikan sebagai pelanggaran terhadap isi kesepakatan, dan memicu keretakan politik yang berlangsung selama hampir satu dekade.
Namun kini, semua luka masa lalu tampaknya mulai mengering.
Bahkan relawan Pro Mega Center sempat mendorong duet Mega-Pro diulang kembali pada Pilpres 2024.
“2009 kesuksesan yang tertunda,” ujar Direktur Pro Mega Center, Mochtar Mohammad.
Potensi Formasi Kabinet: PDIP di Persimpangan Jalan
Pertemuan Megawati dan Prabowo membuka ruang spekulasi: apakah PDIP akan mengambil peran dalam kabinet Prabowo-Gibran?
Dalam konfigurasi parlemen saat ini, PDIP memiliki kekuatan besar yang bisa menjadi penentu stabilitas pemerintahan.
Meski secara resmi belum ada pernyataan arah politik pasca-pemilu, sinyalemen kedekatan ini bisa ditafsirkan sebagai langkah penjajakan awal.
Analis politik dari LIPI, misalnya, memprediksi bahwa jika PDIP bergabung, formasi kabinet akan diwarnai kompromi antara loyalis PDIP, kader Gerindra, dan sosok profesional dari unsur Gibran.
Beberapa nama potensial seperti Puan Maharani, Tri Rismaharini, atau bahkan tokoh non-partai dari lingkaran Istana sebelumnya, disebut-sebut masuk radar.
Rekonsiliasi Nasional dan Narasi “Persatuan”
Sejak awal, narasi “rekonsiliasi” dan “persatuan” menjadi brand politik pasangan Prabowo-Gibran.
Menyatukan kekuatan nasional pasca pemilu satu putaran dinilai sebagai strategi jangka panjang untuk meredam potensi polarisasi.
Pertemuan Megawati dan Prabowo, dua tokoh yang pernah berseteru keras, namun kini bersalaman hangat, adalah pesan simbolik bahwa politik Indonesia tengah bergerak ke arah “rekonsolidasi elite”.
Bagi Prabowo, ini adalah upaya melapisi legitimasi kemenangannya; bagi Megawati, ini mungkin peluang menjaga pengaruh politik PDIP dalam peta kekuasaan baru.
Yang jelas, 2025 adalah tahun ketika dikotomi politik lama mulai mencair.
Setelah satu dekade berseberangan, Teuku Umar dan Kertanegara akhirnya bicara di frekuensi yang sama.
Untuk apa dan sejauh mana kesepahaman itu dibangun, waktu yang akan menjawabnya.
Respon (1)