Alhamdulillah, Ramadan 1446 Hijriah kita awali bersamaan dengan tanggal 1 Maret 2025.
Ini adalah momentum berharga bagi manusia.
Di bulan ini, manusia dapat merefleksikan diri dan mengamputasi egosentrisme yang kerap menjadi penghalang dalam membangun kehidupan sosial nan harmonis.
Baca Juga: Menanti Sikap Gubernur Sumbar
Ramadan bukan sekadar bulan ibadah, tetapi juga bulan pendidikan.
Sebab, bulan ini mengajarkan manusia melepaskan diri dari ego demi kepentingan bersama,
Egosentrisme yang berlebihan kerap menciptakan kesenjangan sosial, menumbuhkan ketidakpedulian, dan menghambat tumbuhnya solidaritas.
Oleh karena itu, Ramadan hadir sebagai sarana untuk mengendalikan ego dan meningkatkan kesadaran sosial.
Mengamputasi Egosentrisme
Salah satu pelajaran utama dari Ramadan adalah kemampuannya dalam mengamputasi egosentrisme manusia.
Secara alami, manusia cenderung membangun ego dalam berbagai aspek kehidupan, baik dalam hal pendapatan, ilmu pengetahuan, kesuksesan, maupun status sosial.
Akibatnya, timbul perbedaan kelas yang menciptakan kesenjangan sosial, ada yang berada di puncak, ada yang terpinggirkan.
Egosentrisme yang tidak terkendali dapat merugikan esensi manusia sebagai makhluk berperadaban dan sosial yang diciptakan Tuhan untuk hidup berdampingan.
Jika egosentrisme terus dipelihara, maka kesenjangan dan ketimpangan akan semakin mengakar.
Ramadan, melalui ibadah puasanya, memberikan pelatihan spiritual yang membentuk manusia agar lebih peduli terhadap sesama.
Setiap aspek dalam ibadah Ramadan, mulai dari sahur, puasa di siang hari, hingga berbuka, mengajarkan manusia untuk menekan egosentrisme dan meningkatkan kesadaran sosial.
Sahur bukan sekadar makan sebelum berpuasa, tetapi juga mengingatkan kita bahwa tidak semua orang memiliki makanan yang cukup untuk menyambut hari.
Ini membangun kepedulian sosial dan menanamkan kebiasaan berbagi.
Demikian pula saat berpuasa sepanjang siang.
Manusia dituntut untuk menahan diri dari dorongan alami seperti makan dan minum, yang sebelumnya diperbolehkan.
Ini adalah latihan spiritual yang bertujuan menumbuhkan kesalehan individu dan sosial.
Ramadan menajamkan kepekaan manusia terhadap sesama, menahan ego dalam berbagai bentuknya, serta mengajarkan kedisiplinan dan empati.
Puasa bukan sekadar menahan lapar, tetapi juga menahan ego-ego untuk tidak mengutamakan diri sendiri, ego untuk tidak hanya memikirkan kepentingan pribadi, serta ego untuk tidak menutup mata terhadap penderitaan orang lain.
Ketika seseorang berpuasa, ia dapat merasakan bagaimana perasaan lapar yang dialami oleh mereka yang kurang beruntung. Ini menumbuhkan rasa empati, simpati, dan solidaritas.
Berbagi sebagai Bukti Kesadaran Sosial
Begitu pula dengan berbuka puasa. Momen ini tidak hanya sekadar untuk menikmati makanan setelah seharian berpuasa, tetapi juga mengandung makna berbagi dan kepedulian terhadap sesama.
Ramadan mengajarkan kita bahwa berbagi dengan orang lain adalah bagian dari kesejatian manusia sebagai makhluk Tuhan.
Dalam berbuka, kita belajar bahwa kebahagiaan tidak hanya datang dari memenuhi kebutuhan sendiri, tetapi juga dari melihat orang lain tersenyum karena uluran tangan kita.
Baca Juga: Mudharat Demokrasi Prosedural Pilkada Serentak
Berbagi di bulan Ramadan bukan hanya dalam bentuk makanan, tetapi juga dalam bentuk perhatian, kepedulian, dan tindakan nyata untuk membantu mereka yang membutuhkan.
Ini adalah salah satu bentuk konkret dari pengamputasian egosentrisme, karena dengan berbagi, kita belajar untuk menempatkan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi.
Dengan demikian, Ramadan hadir dalam kehidupan kita sebagai momentum perubahan penting, terutama dalam upaya mengamputasi egosentrisme yang selama ini membuat kita terjebak dalam kepentingan diri sendiri.
Ramadan mengajarkan kita untuk lebih peduli terhadap sesama, tidak abai terhadap lingkungan, serta menumbuhkan nilai-nilai kemanusiaan dan keadaban dalam kehidupan sehari-hari.
Penulis:
Prof. Dr. Silfia Hanani, S.Ag, M.Si
Rektor UIN Bukittinggi