OPINI

Manuver Tarif Donald Trump

×

Manuver Tarif Donald Trump

Sebarkan artikel ini
Dr. Iramady Irdja, Analis Ekonomi Politik dan mantan Pegawai Bank Indonesia (BI). [Foto: Dok. Pribadi]

TETAPI saya pikir rakyat Amerika mengharapkan lebih dari sekadar teriakan kemarahan dan serangan. Waktunya terlalu serius, tantangannya terlalu mendesak, dan taruhannya terlalu tinggi untuk mengizinkan gairah perdebatan politik yang biasa. Kita di sini bukan untuk mengutuk kegelapan, tetapi untuk menyalakan lilin yang dapat membimbing kita melewati kegelapan itu menuju masa depan yang aman dan waras. Seperti yang dikatakan Winston Churchill saat menjabat sekitar dua puluh tahun yang lalu: jika kita memulai pertengkaran antara masa kini dan masa lalu, kita akan berada dalam bahaya kehilangan masa depan.” (John F. Kennedy)

Posisi Indonesia sangat strategis dari aspek geopolitik dan geoekonomi di kawasan Pasifik. Indonesia memiliki kekuatan ekonomi terbesar ASEAN dan juga anggota APEC. Selain itu, Indonesia memiliki nilai strategis yang tidak dimiliki oleh negara lain yakni sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Hubungan Indonesia dan AS adalah hubungan saling membutuhkan sebagai mitra bisnis strategis Indonesia.

Hal ini tercermin dari track record yang baik dalam neraca perdagangan kedua negara dan investasi meskipun kadang-kadang mengalami pasang surut. Sesuatu yang lazim dalam hubungan internasional.

Trump menuduh Indonesia telah menerapkan tarif terhadap produk impor dari AS mencapai 64%. Ekonom senior INDEF, M. Fadhil Hasan, menyebut tarif resiprokal atau tarif timbal balik yang dikenakan oleh Trump ke Indonesia tak punya basis hitung- hitungan yang jelas. Diperkirakan dasar hitung Trump berasal dari asumsi defisit perdagangan AS ke Indonesia sebesar USD16,8 miliar, dibagi dengan total impor AS dari Indonesia USD28 miliar, maka diperoleh angka 64%.1 Peningkatan tarif terjadi pada berbagai komoditas impor selama 10 tahun terakhir, khususnya barang yang bersaing dengan produk buatan dalam negeri AS. Berdasarkan perhitungan ini bagi Indonesia ditetapkan tarif 32%.

Meskipun dalam bisnis masalah ini hal biasa, namun sikap Trump seperti ini bukanlah menunjukkan sikap negara yang bersahabat. Terdapat nuansa intimidasi kepada Indonesia. Sikap Trump ini, menyentuh rasa nasionalime karena menimbulkan cedera batin yang neresahkan. Dengan sendirinya mengundang tampil kembali semangat KAA Bandung. Misalnya semua negara Asia Afrika plus negara-negara yang terkena tarif resiprokal sepihak AS, kompak untuk bersama-sama menerapkan tarif 0%. Maka dapat dipastikan AS akan berpikir ulang.

Sebagai komparasi, sikap pemerintah China memilih langkah tegas untuk membalas tarif 34% terhadap komoditi AS dengan tujuan melindungi kepentingan negaranya, China juga mendesak agar AS menempuh penyelesaian dagang dengan China dan negara-negara lain dengan menjunjung tinggi kesetaraan, rasa hormat, dan prinsip saling menguntungkan.

Sementara itu, reaksi negara-negara Western lebih “adem” meskipun tetap menyayangkan kebijakan tarif resiprokal Trump. Tampaknya mereka masih mengharapkan negosiasi ulang dengan Trump. Dalam konteks ini, sesuai dengan karakter bangsa Indonesia yang selalu mengedepankan musyawarah untuk mufakat, maka pemerintah Indonesia perlu membuka forum negosiasi dan sekaligus klarifikasi dengan AS. Namun sebelumnya harus dilakukan mapping secara komprehensif tentang keunggulan absolut dan komparatif ekonomi Indonesia sehingga dalam negosiasi memiliki strategi dan bargaining position
yang kuat dan menguntungkan.

Kebijakan Tarif versus Globalisasi

Dari Perspektif Ekonomi Politik, langkah Trump dengan menggoyang tarif impor adalah antitesis dari kebijakan Globalisasi Ekonomi (GE) yang diciptakan AS sendiri. GE telah sesuai dengan prinsip Exchange of Wealth, bila dilaksanakan dengan free market yang adil tanpa proteksi di masing-masing negara. Selanjutnya muncul World Trade Organization (WTO) yang juga diinisiasi AS guna mendorong perdagangan bebas dan adil di antara negara-negara anggota dengan mengurangi dan menghilangkan trade barriers, serta menyediakan forum untuk negosiasi dan penyelesaian sengketa perdagangan.

Kebijakan GE dan WTO diusung AS karena posisi AS ketika itu terkuat dengan agenda terselubung untuk menguasai Sumber Daya Ekonomi (SDE) seluruh dunia. Makanya AS kampanyekan GE dan WTO sebuah kebijakan dunia tanpa sekat. Percayalah, apabila posisi ekonomi AS ketika itu belum dominan, maka diyakini kebijakan GE dan WTO tidak akan pernah menjadi kebijakan AS. Demikian lazimnya perilaku aktor kapitalisme liberal, mendesain kebijakan yang menguntungkan ketika merasa superior, sebaliknya meminta proteksi ketika berada pada posisi inferior.

Setelah GE dan WTO berjalan ternyata AS “keteter” sendiri mengalami defisit trade dengan hampir seluruh negara. Akibatnya terjadi stagflasi ekonomi AS yang parah. Salah satu penyebab utama karena biaya perang dan pangkalan militer AS sebagai negara “polisi dunia”. Perlu diketahui bahwa biaya perang AS selama 70 tahun terakhir lebih pada upaya melindungi Israel. Tidak ada kepentingan langsung dari AS sendiri.

Sebenarnya dari Perspektif Ekonomi Politik kebijakan AS dimaksud sebuah tindakan ceroboh dalam konteks mengorbankan ekonomi negara AS sendiri demi membela negara lain. Sebagai contoh, total biaya yang ditanggung AS untuk perang Irak sebesar USD 3 triliun. Angka ini jauh lebih besar dari perkiraan sebelumnya, termasuk proyeksi pemerintah Bush tahun 2003 tentang perang senilai USD 50 miliar hingga USD 60 miliar.

Selain itu, berdasarkan data Defense Manpower Data Center dan U.S Overseas Basing, AS memiliki setidaknya 128 pangkalan militer di sekitar 49 negara. Jepang merupakan negara yang memiliki paling banyak pangkalan AS, yaitu 14 pangkalan. Pangkalan militer juga memakan biaya yang sangat besar yang pada waktunya melumpuhkan ekonomi AS. Biaya yang dihabiskan AS untuk mempertahankan pangkalan militer di luar negeri diperkirakan mencapai USD 85–100 miliar per tahun.

Sementara itu negara kompetitor makin digdaya karena fokus dan konsentrasi penuh pada pembangunan dan pengembangan ekonomi dengan secara gradual menata keunggulan teknologi dan trade. Tanpa “direcoki” kebijakan sia-sia, pemborosan hanya sekadar mengejar reputasi sebagai “polisi dunia”. Dari Perspektif Ekonomi Politik, langkah Trump dengan memaksakan kebijakan tarif merupakan langkah mundur 50 tahun ke belakang. Kesempatan exchange of wealth antarnegara di dunia jadi terganggu, bahkan menempuh jalan buntu yang dapat menuju konflik.

Tengoklah slogan Trump “Make America Great Again” merupakan tagline kampanye yang dipakai Trump dalam Pilpres Amerika Serikat 2024. Dari slogan ini juga dapat diketahui bahwa kebijakan tarif AS dengan tujuan menegakkan kembali hegemoni AS. Bukan dalam rangka kemakmuran bersama negara-negara di dunia. Kemakmuran dunia terganggu, bahkan kemakmuran AS juga diperkirakan menuju kehancuran gelombang kedua. Sistem moneter dan currency terusik karena sangat mudah terpengaruh oleh distorsi pasar yang diciptakan Trump.

Posisi Indonesia

Meskipun posisi Indonesia cukup terusik namun tidak separah negara Asean lainnya seperti Vietnam, Kamboja, Thailand, dan Malaysia. Guna menilai dampak ekonomi yang sebenarnya, Indonesia harus mempertimbangkan: Pertama, Karakter Ekspor Indonesia: Ekspor utama Indonesia adalah Briket
Batubara (USD38,8 miliar), Minyak Sawit (USD24,8 miliar), Ferroalloy (USD14,8 miliar), Lignite (USD10,7 miliar), dan Gas Minyak (USD9,26 miliar). Meskipun barang tambang merupakan barang tidak bisa didaur ulang, namun sebagai antisipasi sementara atas langkah tarif AS, Indonesia memiliki bargaining position yang kuat.

Kedua, Negara Tujuan Ekspor: sebagian besar komoditi Indonesia diekspor ke Tiongkok (USD70,7 miliar), Amerika Serikat (USD27,9 miliar), India ($24 miliar), Jepang (USD23,7 miliar), dan Singapura (USD15,8 miliar). Jadi jelas negara tujuan ekspor terbesar bukan AS (hanya 17%).

Ketiga, Peran Indonesia dalam Rantai Pasokan Global: berhubung komoditi Indonesia merupakan bahan resources maka pengaruh pengenaan tarif AS terhadap negara mitra bisnis Indonesia sebagai mata rantai pasokan juga berdampak pada komoditi ekspor Indonesia.

Keempat, Ketergantungannya pada Perdagangan Internasional: Indonesia memiliki populasi penduduk yang sangat besar sehingga ketergantungan pada perdagangan internasional tidak signifikan, khususnya untuk komoditi manufaktur. Hal ini tentu selama terdapat political will pemerintah untuk melakukan proteksi pasar dalam negeri dengan menutup impor ilegal 100% sehingga produksi dalam negeri hidup kembali misalnya untuk komoditi Tekstil dan Produk Tekstil (TPT).

Dalam rangka mengantisipasi jurus tarif Trump dan menghadapi berbagai perubahan kebijakan global, pemerintahan Presiden Prabowo telah mengambil langkah strategis: (1). Indonesia memperluas mitra dagang. (2). Presiden juga mulai mempercepat hilirisasi Sumber Daya Alam (SDA) guna meningkatkan nilai tambahnya. (3). Memperkuat daya beli masyarakat melalui program-program yang langsung menyentuh kesejahteraan rakyat.

Mencermati ketiga strategi ini tampak belum mampu sepenuhnya menjawab masalah tarif yang sedang dihadapi. Tidak ditemukan strategi yang jitu berdasarkan kajian keunggulan absolut dan komparatif ekonomi Indonesia. Contoh kasat mata yang dihadapi Indonesia bersamaan dengan tsunami tarif resiprokal Trump yakni dalam periode 2022 – 2024 terdapat 60 perusahaan TPT yang sudah tutup dan telah terjadi PHK massal. Pada umumnya industri TPT menurun antara lain karena kebijakan impor dan impor ilegal, persaingan global, dan pelemahan nilai tukar rupiah. Bahkan, berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), sudah terjadi hampir 59.796 orang yang terkena PHK hanya dalam periode 10 bulan (Januari – Oktober 2024).

Selain komoditi TPT, penting dibuat kajian komprehensif per komoditi ekspor lainnya dengan akurat dan terukur. Tidak hanya sekedar narasi normative yang belum melalui kajian hasil yang dapat dipertanggungjawabkan.

Langkah yang paling efektif adalah dengan menggunakan jalur Diplomasi Tingkat Tinggi (DTT). Dalam hal ini langsung diambil alih oleh Presiden Prabowo yang memiliki kemampuan bahasa Inggris yang baik. Prinsip negosiasi DTT dengan menyampaikan rasa empati tanpa sedikit pun menyalahkan kebijakan tarif Trump, sesuai dengan tipikal diplomasi Trump yang dapat kita saksikan selama ini. Indonesia memiliki nilai falsafah DTT dalam khazanah budaya Minangkabau; “Iyokan nan diinyo, laluan nan diawak”.

Baru kemudian menyampaikan posisi Indonesia dengan keunggulan absolut dan komparatif yang juga berguna bagi kepentingan AS. Menurut penulis, mengirim Tim Negosiasi ke AS dapat saja dilakukan namun hanya sampai pada level kedua. Keputusan akhir sepenuhnya pada Trump, makanya DTT jauh lebih efektif. Selain itu, penulis mencoba menyusun pendapat rasional berdasarkan pendekatan ekonomi politik. Kontestasi tarif yang dicanangkan oleh Donald Trump diprediksi akan berakhir “win-win solution”, setidaknya “melunak”.

Berubah dari treatment awal Trump yang terkesan intimidatif dan semena-mena sebagai negara superpower menjadi lebih soft, dengan argumentasi: Pertama, Trump dengan latar belakang sebagai bisnisman lebih tampil sebagai mengelola korporasi yang profit oriented dari pada mengelola sebuah negara dengan komplesitas masalah ekonomi politik yang rumit.

Kedua, faktor politik seolah-olah diabaikan oleh Trump antara lain: (a). Mengabaikan hubungan baik dengan negara tetangga dekat seperti Canada dan Mexico; (b). Sekutu tradisional negara-negara Barat yang juga memperoleh perlakuan kontestasi tarif serupa; (c). Negara superpower lainnya sebagai kompetitor sudah bermunculan. Ternyata respons dari berbagai negara sudah di luar kontrol politik Trump; (d). Muncul suara tidak puas dari dalam negeri AS atas kebijakan distorsif pasar yang merusak eksistensi bisnis dengan rekanan di negara lain. Bahkan kebijakan tarif Trump pada dasarnya mengingkari jiwa idealisme negara AS sendiri sebagai negara Liberal; (e). Tenggat waktu masa jabatan yang terbatas, diperkirakan kebijakan tarif Trump hanya “seumur jagung”. Kebijakan dimaksud akan berubah sejalan dengan pergantian kekuasaan.

Ketiga, kompetisi yang makin tajam dari aspek resources, energi, produk, dan teknologi. AS tidak lagi sepenuhnya berada pada posisi superior. Kekuatan militer tidak lagi efektif untuk menggertak dan mengendalikan kompetitor. Mestinya AS menyadari perkembangan kondisi ini guna mencegah potensi konflik. Memilih langkah persuasif, equal, kemitraan, dan bijak dalam exchange of wealth menuju tatanan dunia yang nyaman damai, kondusif, saling menguntungkan buat semua.

Khusus bagi Indonesia, dalam rangka menghadapi kebijakan tarif AS, Indonesia tidak perlu “kebakaran jenggot”. Hadapi dengan tenang dan langkah cerdas DTT dengan memperkuat keunggulan absolut dan keunggulan komparatif. Kaji lebih strategis keunggulan ekonomi Indonesia dari negara lain dalam hal produksi, distribusi, konsumsi, dan kekayaan.

Baca juga: Masa Depan Ekonomi Agam: Pariwisata dan Inovasi Berkelanjutan

Semoga Indonesia bisa bermain cantik dan smart tanpa terperangkap oleh Trump’s Protection Trap. Dapat pula disarankan bahwa DTT langsung Presiden Prabowo merupakan langkah paling strategis dan efektif. Meskipun demikian, sekecil apapun peluang negosiasi tarif dengan AS harus dimanfaatkan dengan baik.

[*]

Penulis: Dr. Iramady Irdja, Analis Ekonomi Politik dan mantan Pegawai Bank Indonesia (BI)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *